Monday, May 12, 2008

Kehampaan Sebuah Rasionalitas


Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan teman-teman lama saya. Lama tidak bertemu, kami pun memperbincangkan banyak hal. Dari topik wanita sampai nostalgia masa-masa SMA. Alih-alih bersenang-senang, kami pun mulai membicarakan yang agak serius, obrolan mengenai esensi agama. Salah satu teman saya mengatakan bahwa dia yakin kekuatan yang mengatur alam ini pasti ada. Akan tetapi, dia sama sekali tidak menyinggung apakah kekuatan itu adalah Tuhan atau bukan. Baginya, agama hanya menjadi pembatas bagi hubungan manusia. Terjadilah perdebatan panjang antara kami. Hasilnya tak berujung. Kami tetap pada pendapat masing-masing.


Entah kenapa, setelah itu perbincangan itu, saya terus berpikir kenapa hal ini sulit disamakan dan tidak akan pernah ada jalan temunya sampai akhir zaman. Semakin saya berpikir, saya malah makin yakin rasionalitas saya tidak akan mampu menjawabnya. Mengapa? Karena rasionalitas bukanlah sesuatu yang sempurna dan terlalu hampa untuk menjawab masalah spiritual seseorang.


Saya tidak perlu mengatakan bahwa agama saya adalah agama yang terbaik karena semua pemeluk agama pasti akan merasa agamanya adalah agama yang terbaik. Agak sensitif memang membicarakan hal ini, tapi yang pasti saya tidak akan mencodongkan tulisan ini kepada agama atau aliran spiritual tertentu. Saya hanya mencoba menjelaskan perbedaan anutan spiritual ini dari sisi humanitas dengan menggunakan rasionalitas (yang sudah saya katakan tadi, tidak sempurna dan hampa). Harapannya adalah agar orang tidak akan pernah memaksakan agamanya kepada orang lain.


Mungkin kadang kita pernah merenung, sebenarnya apa awal dan akhir kehidupan ini. Setiap agama memang menjelaskan hal itu. Tapi memang sifat dasar manusia, manusia selalu bersikap mencari penjelasan ilmiah terhadap apa yang telah, sedang, dan akan terjadi. Manusia mencoba menciptakan teorinya sendiri dari teori penciptaan angkasa seperti teori Big Bang sampai reinkarnasi ataupun hari kiamat. Sampai kapanpun juga, saya rasa manusia tidak akan pernah mempunyai jawaban ilmiah yang utuh. Karena apa? Rasionalitas kita masih terlalu hampa. Kemudian, pemeluk agama yang beriman itupun menyandarkan jawabannya pada kitab suci masing-masing.


Lalu pertanyaannya, mengapa manusia bisa sedemikian yakin dengan penjelasan agama mereka masing-masing? Banyak hal. Akan tetapi, alasan yang paling kuat adalah adanya pengalaman spiritual masing-masing orang yang sulit dijelaskan dengan kata-kata atau simbol apapun.


Pengalaman spiritual ini bisa berupa apa saja dari pengalaman menjalankan ibadah sampai diterimanya hidayah dalam berbagai bentuk. Mungkin teman saya tadi akan mengatakan bahwa hal itu hanya sekedar sugesti. Sugesti yang kuat, yang membuat tubuh manusia bergerak sesuai keinginan sugesti pikirannya. Tidak, pengalaman spiritual ini lebih dari sekedar sugesti. Pengalaman spiritual ini bisa mengubah jati diri kita cukup sesaat saja, tanpa melalui kebiasaan atau ritual apapun yang memungkinkan berkembangnya sugesti. Sedemikian kuatnya, orang dengan berbagai kasus kriminal pun bisa berubah sedemikian cepatnya menjadi orang yang saleh akibat pengalaman spiritual itu.


Menurut saya, beruntunglah bagi kita yang pernah mengalami pengalaman spiritual ini, karena tidak semua orang pernah mengalami hal ini. Kealpaan pengalaman ini membuat banyak orang menjadi tidak percaya pada agama dan Tuhan. Konsekuensinya, mereka kehilangan pegangan hidup dan hanya bersandar pada aturan hukum ciptaan manusia di dunia.


Jadi, pengalaman inilah yang mampu menjelaskan mengapa perbedaan itu terus terjadi. Selama kita tidak pernah melewati pengalaman spiritual yang sama, maka kita juga tidak akan menempuh kepercayaan yang sejalan. Pengalaman di luar penjelasan rasionalitas ini membuat orang-orang meneguhkan pendirian agamanya masing-masing. Perbedaan yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan dan dipaksakan untuk menjadi persamaan, karena setiap agama mengajarkan toleransi beragama terhadap pemeluk agama lain yang tidak melewati pengalaman spiritual yang sama.