Saturday, November 15, 2008

3 Mitos Besar Pasar Saham


1. Kenaikan indeks saham menggambarkan kemajuan ekonomi


Dalam beberapa situasi pasar yang efisien, hal ini mungkin terjadi. Pada situasi ini, investor secara rasional membeli saham karena prospek pendapatan ke depannya yang cukup baik. Tapi sayangnya, dunia ini tidak seideal itu.

Pada satu ceramahnya, Alan Greenspan menyebut perilaku abnormal investor dengan istilah “irrational exurberance” (atau bahasa indonesianya, kegairahan irrasional). Perilaku ini menyebabkan orang-orang berinvestasi bukan karena prospek fundamental perusahaan, tapi karena adanya optimisme atau pesimisme yang irrasional. Teori arbitrase pun tidak dapat memanfaatkan situasi ini karena kegairahan irrasional melanda ke seluruh pelaku pasar.

Contoh kasusnya, mudah dilihat, kenaikan berlebihan harga subprime mortgage yang berujung pada meletusnya bubbling harga dan menyebabkan investor merugi. Investor-investor institusional secara membabi buta memborong produk investasi perumahan hingga harga pasar melebihi harga wajarnya.

Rasionalitas adalah kuncinya. Di dunia ini, banyak orang memborong saham karena rasa optimisme yang berlebihan atau sekedar ikut-ikutan beli saham. Investor-investor macam inilah yang membuat pasar saham makin tidak dapat menggambarkan keadaan ekonomi yang sebenarnya.

Oleh karena itu, muncul satu lelucon dari advokat teori kontrarian yang menyebutkan bahwa, ketika ibu-ibu sudah ikut-ikutan beli saham, berarti itu waktu untuk jual saham. Kenapa? Karena masuknya orang-orang yang tidak mengerti pasar saham menunjukkan pasar yang menuju ke arah irrasional.



2. Investasilah dalam jangka panjang, jangan jangka pendek


Inilah kalimat-kalimat yang paling sering diucapkan para financial advisor. Mereka selalu bilang, kalau secara jangka panjang, harga saham selalu mengalami trend peningkatan sehingga dapat mengabaikan fluktuasi harga jangka pendek. Pertanyaan selanjutnya adalah, jangka panjang itu seberapa lama? 1 tahun? 5 tahun? atau mungkin 20 tahun?

Berikut ini adalah grafik indeks pada salah satu pasar saham besar di dunia, Jepang.


Indeks Nikkei 20 Tahun Terakhir

Coba bayangkan saja, seandainya kalian beli saham pada indeks Nikkei di tahun 1985, 20 tahun kemudian, investasi kalian malah turun. Nangis gak tuh!, sudah capek2 investasi lama tapi hasilnya malah merugi. Atau mungkin 20 tahun bukanlah termasuk waktu jangka panjang?,haha

Para financial advisor selalu menggunakan data historis untuk mendukung argumen mereka. Hal inilah yang tidak sepenuhnya benar, karena kinerja masa lalu tidak akan pernah dapat menggambarkan kinerja masa depan secara pasti. Tidak selamanya pasar memiliki kinerja kenaikan harga saham yang baik dalam jangka panjang.

We'll never know what's gonna happen next!!


3. Rekomendasi saham

Rekomendasi saham sering muncul di koran untuk orang-orang yang berminat untuk melakukan kepurusan transaksi. Buku-buku trading juga banyak terbit untuk memberi tahu bagaimana caranya mendapatkan keuntungan dari investasi saham secara maksimal. Tapi sadarkah kita, jika rekomendasi itu selalu benar, tentunya pihak yang membuat rekomendasi itu sudah akan sangat kaya dan tidak akan membagi ilmunya kepada orang lain.

Jika memang benar muncul suatu metode baru untuk mengalahkan pasar, sekalinya terpublikasikan, metode ini pastinya akan langsung diadaptasi oleh para pelaku pasar hingga penggunaan metode ini tidak akan menghasilkan nilai tambah lagi. Oleh karena itu, manusia normal yang menemukan metode baru pastinya tidak akan membagikannya kepada pelaku pasar lain jika ingin meraih abnormal profit.

Oleh karena itu, agak aneh ketika kita hanya mengandalkan rekomendasi untuk melakukan keputusan transaksi. Sepintar apapun kita, apakah kita seorang profesor ataupun seorang lulusan harvard sekalipun, kita tidak akan pernah tahu apakah besok indeks akan naik atau turun.

Jadi intinya, kalau mau untung investasi saham, percaya aja sama bandar!!,haha

(Bandar = market maker, orang-orang yang punya uang sedemikian banyaknya sehingga mampu mempermainkan dan memanipulasi pasar)

Gila, Bangkrut aja Dapat Duit!!


Golden parachute adalah sebuah paket yang menjamin para eksekutif perusahaan mendapatkan semacam kompensasi ketika perusahaan mengalami pemindahan kepemilikan atau kebangkrutan. Bisa berbentuk stock option, fasilitas rumah, ataupun kompensasi tunai. Ya bahasa lainnya sih pesangon buat para CEO dan jajaran direksinya.

Golden parachute menjadi sebuah fenomena karena besarnya yang gila-gilaan. Apalagi jika kita sangkutkan dengan krisis finansial global yang berpusat di Amerika, pastinya kita akan sangat merasa heran.

Bear Stern. Merryl Lynch, dan Lehman Brothers merupakan perusahaan-perusahaan yang collapse akibat krisis ini. Para eksekutif mereka terlalu berani untuk menginvestasikan uang para investornya ke lahan-lahan investasi yang sangat beresiko. Keserakahan ini pun terus berlangsung. Ujung-ujungnya, harga subprime pun terlalu bubbling dan akhirnya meletus, ribuan masyarakat Amerika pembayar subripme mortgage mengalami default. Yang mampu bayar akhirnya juga tidak mempunyai akses untuk memperoleh kredit akibat adanya stress liquidity.

Cerita teknisnya memang agak panjang. Akan tetapi, cerita akhirnya yang menarik adalah kenaikan drastis kekayaan para eksekutif perusahaan ini akibat perusahaannya yang BANGKRUT. Bear Stern memberikan uang sebesar 85 juta dollar kepada CEO-nya setelah "berhasil" menutup perusahaan yang telah berusia lebih dari seratus tahun tersebut. CEO Merryl Lynch memperoleh kompensasi sebesar 105 juta dollar setelah perusahaannya diakuisisi oleh Bank of America. Dan yang paling anyar, adalah Richard Fuld, seorang bankir yang telah memimpin Lehman Brothers sejak tahun 1999.


Dalam kesaksiannya pada Kongres, dia mengaku memperoleh hak atas paket kompensasi sebesar 500 juta dollar selama memimpin Lehman Brothers. Namun, pada akhirnya, ia "hanya" memperoleh take home pay sekitar 200 juta dollar (sekitar 1.800 triliun rupiah) akibat stock option yang dimilikinya menjadi kertas kosong akibat kejatuhan harga saham Lehman Brothers. "Is that fair, for a CEO of a company that's now bankrupt, to make that kind of money? It's just unimaginable to so many people." tanya Henry Waxman, seorang Republikan yang ketika itu sedang memimpin sidang. Fuld hanya mampu menjawab "We have a Compensation Committee to make sure the interest of executive aligned with shareholders' interest."

Selama menjabat pun, Fuld telah memperoleh fasilitas berupa Villa yang menghadap ke laut di Florida seharga 14 juta dollar dan sebuah rumah resort ski eksklusif di Sun Valley, Idaho. Fuld dan istrinya juga memiliki hobi mengkoleksi lukisan berharga jutaan dollar. Semuanya diperolehnya dengan mengambil resiko menggunakan uang orang lain.

Sehari sebelum pertemuan dengan Kongres itu, seorang investor Lehman Brothers sebenarnya telah mendatangi Fuld ketika sedang berolahraga di gym. Tanpa basa-basi, bogem mentah pun dilayangkan investor itu. Anehnya, sehari kemudian tampak tidak ada bekas apapun ketika Fuld menjalani kesaksian di Kongres. Entah dia memakai obat-obatan atau memang mempunyai perias pribadi yang sangat andal.

Kasus ini merupakan satu dari banyak kasus sejenisnya yang lain. Walau sebenarnya kasus semacam ini kurang substansial dibandingkan kerusakan lain yang ditimbulkan krisis subprime motgage (inti masalah masih berada pada kisaran deregulasi), kompensasi semacam ini jelas-jelas telah mengurangi disinsentif para eksekutif untuk mencegah perusahaannya berada pada jurang kebangkrutan.

Pertanyaan pun muncul, apakah mereka benar seserakah itu atau memang sistem yang ada memang terlalu mudah untuk dimanipulasi? Sistem kompensasi seperti apa yang benar-benar dibutuhkan untuk membuat para CEO mampu bekerja sesuai dengan kepentingan pemegang saham (agency problem)? Dan apakah hati nurani masih bisa diharapkan bekerja di dunia seperti ini?

Fuld adalah satu bagian dari seluruh rangkaian krisis global ini. Keadaan yang menimpanya sekarang memang merupakan tanggung jawabnya secara penuh. Akan tetapi, sistem regulasi seharusnya dapat mencegah hal seperti ini terjadi.

Sebuah pelajaran yang dapat dipetik para pengambil keputusan di negara ini.