Wednesday, July 30, 2008

Mencari Garis Pembatas Jumlah Partai Politik


Institusi politik yang paling mudah dimanipulasi,

untuk tujuan baik atau buruk,

adalah sistem pemilu.”


Pada awal Juli ini, 34 partai politik disahkan oleh KPU untuk ikut dalam pemilu 2009. Kecenderungan jumlah parpol yang menurun pada 2004 tidak terjadi lagi pada pemilu 2009. Jumlah parpol pemilu 2009 lebih banyak dibandingkan pada 2004 yang berjumlah 24 partai, tapi masih lebih sedikit dibandingkan pada 1999 yang sebanyak 48 partai.

Ada dua sebab yang membuat hal ini terjadi. Yang pertama, adalah sistem pemilu itu sendiri. Menurut Andrew Reynolds, seorang ilmuwan politik terkenal, institusi politik yang paling mudah dimanipulasi untuk tujuan baik ataupun buruk adalah sistem pemilu. Sistem pemilu mempengaruhi cara dan proses penerjemahan suara masyarakat menjadi kursi-kursi di parlemen. Pilihan dari sistem pemilu secara aktif menentukan siapa yang terpilih dan partai mana yang meraih kekuasaan. Setelah berkuasa, partai-partai ini bisa melakukan perubahan sistem pemilu melalui fungsi legislasi parlemen.


Di sinilah sering terjadi kontroversi dimana partai-partai besar selalu dituding ingin melemahkan dan menggusur partai-partai kecil atas nama penyederhanan dan efisiensi sistem politik Indonesia (tidak salah memang, tapi jika dilandasi oleh niat baik yang benar). Partai kecil sendiri selalu merasa penyederhanan jumlah politik merupakan penyanderaan terhadap kehidupan demokrasi karena tingkat representativeness yang berkurang di legislatif.


Di kasus lain, kita juga pernah mendengar pembahasan wacana persyaratan untuk menjadi calon presiden. Bukan rahasia umum lagi bahwa setiap partai hanya memprioritaskan kepentingan masing-masing partai. Ketika ada wacana minimal S1, PDIP mentah-mentah menolaknya karena Megawati yang hanya lulusan SMA. Persyaratan sehat jasmani juga jelas ditolak PKB karena Gus Dur yang mereka usung akan sulit melewatinya. PKS pernah mengajukan persyaratan umur maksimal karena frustasi terhadap regenerasi figur politik di Indonesia, tetapi pada akhirnya usul tersebut juga dimentahkan oleh partai-partai yang masih diisi tokoh lawas.


Kembali ke konteks jumlah partai politik, electoral treshold merupakan salah satu tools sistem pemilu untuk mengatur jumlah partai. Di Indonesia, electoral treshold masih sebesar 3 persen dan diharapkan akan terus meningkat ke depan oleh banyak pihak. Akan tetapi, jumlah parpol tetap tidak menurun secara konsisten. Mengapa? Karena aturan electoral treshold tidak didukung oleh peraturan pemilu lain seperti adanya persyaratan minimal yang hanya membutuhkan 2/3 jumlah kepengurusan di provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini membuat partai-partai baru tetap bermunculan dengan tokoh yang sama dan visi yang sama. Bedanya hanya nama partai dan lambang partai saja. Itupun biasanya cuma ditambah atau dirubah sedikit kata-katanya. Misalnya, Partai Demokrasi Kebangsaan yang menjadi Partai Penegak Demokrasi Kebangsaan atau Partai Bulan Bintang yang sempat berubah nama menjadi Partai Bintang Bulan. Partai Keadilan Sejahtera pun juga sebenarnya sama saja dengan Partai Keadilan pada pemilu 1999. Oleh karena itu, jika ingin melakukan penyederhaan partai, electoral treshold saja tidak cukup, kita perlu mengubah peraturan pemilu lain secara progresif agar sesuai dengan semangat efisiensi sistem perpolitikan.


Sebab kedua mengapa parpol masih saja banyak adalah tingkat kedewasaan politik rakyat Indonesia yang belum baik. Menurut almarhum Prof. Miriam Budiardjo, partai politik adalah sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik (political socialization), sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan sarana pengatur konflik (conlict management). Banyaknya partai-partai yang pecah menunjukkan hal yang tidak demikian. Partai-partai besar dapat dianggap gagal untuk menjalankan fungsi partai politik karena tidak mampu menjadi sarana pengatur konflik di antara mereka sendiri.


Akibat belum dewasanya kehidupan berpolitik di negara kita, orang-orang dalam parpol masih sulit menerima kekalahan dalam musyawah internal partai. Kemudian, mereka pun membentuk partai baru. Semakin aneh ketika partai baru ini ternyata tetap mempunyai platform yang sama sehingga, secara gamblang, dapat disimpulkan bahwa partai baru ini hanya dijadikan sebagai kendaraan politik untuk meraih kekuasaan, bukan untuk menjadi partai yang menawarkan alternatif visi dan ideologi yang baru untuk masyarakat.


Untuk kriteria ideologi itu sendiri, jika kita melihat ke belakang pada tahun 1945-1966, Herbert Feith (seorang indonesianis dari Monash University Australia) melihat bahwa pembagian aliran politik Indonesia sebenarnya dapat dibagi menjadi hanya lima, yaitu nasionalis radikal, tradisional Jawa, Islam, komunis, dan sosial demokrat.


Jumlah Parpol yang Ideal

Sebelum menentukan regulasi apa yang dibutuhkan untuk mengatur jumalah parpol, penting bagi kita untuk mengetahui sebenaranya berapa jumlah parpol yang ideal untuk masyarakat Indonesia. Apakah cukup dua partai seperti di Amerika Serikat atau kembali lagi ke 10 partai seperti pada pemilu 1971, atau mungkin ada angka lain yang lebih sesuai.


Jawaban yang benar-benar tepat tentunya sangat sulit dicari, Akan tetapi, ada beberapa survei yang berusaha menjelaskan ini. Salah satunya adalah hasil survei Indo Barometer pada akhir tahun 2007 menunjukkan, 8 dari 10 responden menilai jumlah parpol di Indonesia saat ini sudah terlalu banyak. Bahkan, bagian terbesar responden berpendapat, jumlah parpol ideal adalah lima (24,0 persen), tiga (21,6 persen), dan 10 (18,3 persen).


Hasil Pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol ternyata hanya memunculkan 6 parpol yang lolos electoral threshold, yaitu PDIP, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Kemudian, pada Pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol, hanya 7 parpol yang lolos electoral treshold. Partai-partai itu adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS. Pelaksanaan dua pemilu tersebut dinilai sudah dapat berjalan demokratis, jujur dan adil. Oleh karena itu, meskipun sistem multipartai sudah diterapkan, ternyata jumlah parpol yang ideal di mata masyarakat pemilih berada di antara 6-7 parpol.


Apa yang bisa dilakukan kemudian?

Pertama-tama, poin yang paling penting untuk dicamkan adalah banyaknya studi empirik yang membuktikan bahwa sistem presidensial (seperti yang dianut Indonesia) tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Hal ini dikarenakan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan memiliki tingkat governability (memerintah) yang rendah akibat bergantungnya pada koalisi. Presiden akan dituntut untuk mengakomodasi segala kepentingan koalisi.


Jumlah partai yang banyak, memang boleh jadi mencerminkan representativeness yang tinggi. Sialnya, jumlah partai yang banyak secara natural juga mengurangi derajat governability presiden dalam sistem presidensial. Sebabnya sederhana saja, terlalu banyak pemain. Oleh karena itu, koalisi menjadi terlalu cair, kemampuan eksekusi presiden menurun, kemampuan legislasi parlemen juga melemah karena terlalu banyaknya partai. Sebenarnya agak sulit dipercaya apabila partai-partai di Indonesia itu bisa membentuk koalisi sungguhan. Koalisi, dalam negara yang sistem politiknya mapan, terbentuk karena ada kesamaan orientasi ideologis antar partai.


Alasan tersebut mengantarkan kita pada pertanyaan bagaimana cara untuk mengurangi partai politik di Indonesia. Ada beberapa cara yang dapat diadopsi pada regulasi pemilu selain electoral treshold. Yang pertama adalah dengan mengurangi district magnitude. Penentuan pembagian kursi dan penghitungan perolehan kursi sangat ditentukan oleh besaran daerah pemilihan (district magnitude). District magnitude biasa diartikan sebagai jumlah kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan. Dengan menurunnya district magnitude, partai-partai kecil akan sulit mencapai ambang bawah (jumlah minimal untuk mendapatkan peluang meraih kursi).


Dalam pemilu dengan sistem proporsional, district magnitude biasanya berbeda dari satu daerah pemilihan ke daerah pemilihan lain. Di Indonesia hal ini misalnya ditetapkan melalui Pasal 46 UU 12/2003 tentang Pemilihan Umum, yang menyebutkan bahwa “Setiap daerah pemilihan mendapatkan alokasi kursi antara 3 sampai 12 kursi“. Artinya district magnitude dalam pemilu kita di tahun 2004 lalu adalah antara 3 hingga 12.


Cara lainnya dengan mengubah sistem proporsional menjadi sistem distrik. Dengan demikian, setiap daerah pemilihan hanya mewakilkan 1 orang yang menjadi pemenang (the winner takes it all). Sistem ini dapat mendorong hanya partai yang yakin menang saja yang ikut dalam pemilu. Partai-partai kecil tidak akan coba-coba apabila tidak yakin bisa menang. Walupun demikian, sistem ini memiliki kelemahan tingkat representativeness yang rendah akibat suara calon yang kalah menjadi hangus.


Dalam pemilihan cara-cara itu, tetap saja, penyederhanaan jumlah parpol seharusnya tidak lahir dari tekanan parpol besar tapi dari kesadaran publik. Musyawarah yang sehat dibutuhkan untuk mencari garis pembatas jumlah partai politik.


Belajar Kebut Semalam : Penyakit yang Menjadi Solusi


Education is what remains after one has forgotten everything one learned in school." (Albert Einstein)


Bila anda seorang pelajar, mungkin anda sering mengalami hal ini. Tanpa terasa ujian telah datang, anda yang terus mengira ujian masih lama bingung dan panik. Anda ”merasa” belum belajar yang cukup. ”Merasa” di sini bisa berarti anda benar-benar belum belajar atau sudah belajar namun belum yakin akan keefektifan belajar yang anda lakukan.


Untuk maksud yang pertama, anda memang pastinya tidak punya bekal apa-apa. Sudah kepalang basah tidak pernah menyicil pelajaran, anda pun belajar kebut semalam atau orang sering menyebutnya SKS (Sistem Kebut Semalam). Semalaman begadang, anda belajar poin-poin penting yang anda kira akan menjadi bahan ujian.


Cara belajar macam ini sudah hampir pasti pernah dialami oleh semua mahasiswa, apalagi untuk mahasiswa yang ”merasa” dirinya sibuk. Sekali lagi, ”merasa” di sini, bisa berarti benar-benar sibuk atau berasumsi sibuk. Ada beberapa alasan yang membuat kita terus melakukannya, terlepas dari pendapat yang menyatakan bahwa cara belajar ini adalah cara yang buruk. Aldo, seorang mahasiswa UI, merasa bahwa kesibukannya di senat dan banyak kepanitiaan membuat dia merasa tidak punya banyak waktu untuk belajar jauh-jauh hari sebuah ujian. Untungnya, di kampus Aldo, tidak ada kegiatan kepanitiaan atau organisasi yang berlangsung ketika ujian berjalan. Jika ada, mungkin Aldo bingung, kodratnya sebagai mahasiswa akan berbenturan dengan kiprahnya di dunia profesional kampus. Selain alasan itu, anda mungkin terlena, mengira bahwa ujian masih lama. Alasan ini bisa menjadi sangat relevan jika anda adalah seorang yang apatis/cuek atau memang hanya sekedar malas sehingga menunda-nunda waktu belajar.


Ada dua tujuan mengapa kita belajar. Pertama, karena kita ingin memperoleh hasil atau output yang baik dari usaha belajar kita. Hasil ini bisa berupa nilai ujian. Kedua, kita belajar karena kita menyukai hal-hal yang kita pelajari dan berusaha memenuhi rasa keingintahuan kita melalui belajar.


Tujuan pertama membuat kita terlalu berorientasi pada hasil atau dalam konteks ini adalah nilai ujian. Orientasi ini menyebabkan kita mengesampingkan proses dan makna belajar sesungguhnya, belajar untuk pintar. Orang-orang yang mempunyai tujuan ini lebih sering belajar kebut semalam dibandingkan orang-orang yang mempunyai tujuan kedua


Oleh karena itu, bagi penulis, tujuan kedua merupakan tujuan yang lebih ideal. Dengan tujuan kedua, kita akan lebih termotivasi untuk belajar karena motivasi ini datangnya dari dalam diri sendiri, bukan dari beban untuk mendapat nilai bagus. Mungkin anda pernah bertanya-tanya mengapa berbagai ilmu pengetahuan yang luar biasa, yang mampu menyederhanakan pekerjaan dan membuat hidup lebih nyaman, hanya memberi kita kebahagiaan kecil. Jawabnya sederhana saja, karena kita belum belajar untuk menggunakannya di kehidupan kita. Kurangnya self-relevance ini membuat kita kadang sulit mencintai proses belajar yang kita lakukan,. Kita terlalu kaku pada textbook yang ada dan tidak mengimplikasikan materi itu terhadap kehidupan sehari-hari kita yang sederhana.


Ketika kita belajar kebut semalam, ada beberapa dampak yang mungkin kita bisa rasakan. Selama belajar, tentunya otak kita dipaksa untuk bekerja untuk memahami materi-materi pelajaran dalam semalam, padahal materi ini sebenarnya untuk 3 bulan, misalnya. Sepintar apapun kita, jika materi yang kita pelajari terlalu banyak, maka kita hanya mampu mempelajari sebagian permukaan-permukaannya saja. Belajar kebut semalam juga hanya mendorong kita untuk menghapal, membuat kita tidak memahami seluruh materi secara utuh.


Selain itu, karena letihnya kita belajar dengan begadang, kita bisa menjadi kurang fit ketika menjalani ujian. Kurangnya istirahat membuat kita ngantuk dan bisa berpengaruh buruk terhadap ujian.


Dampak-dampak di atas mungkin tidak berlaku bagi semua orang. Mungkin ada orang yang sudah sangat terbiasa dengan cara belajar ini dan mendorong mereka merasa bahwa cara belajar ini adalah cara yang terbaik bagi mereka. Terhadap fenomena ini, kita bahkan bisa melihat buku-buku rangkuman dijual bagi orang yang memang suka ber-SKS-ria. Metode-metode pun dilahirkan untuk membantu orang-orang seperti ini, misalnya seperti teknik ”encapsulation”. Teknik ini bermaksud untuk mengekspresikan bagian penting dari sesuatu dengan kata yang pendek, ruang kecil atau objek tunggal. Kata ”encapsulation” sebenarnya berasal dari bidang ilmu objek berbasis pemrograman.


Dalam tulisan ini, penulis tidak menyimpulkan bahwa belajar kebut semalam adalah hal yang buruk. Seperti kata-kata Albert Einstein di atas, pendidikan di sekolah menjadi berguna jika pengetahuan yang kita dapatkan dapat kita ingat sepanjang hidup kita. Jadi, yang penting adalah seberapa jauh cara belajar yang kita pilih dan lakukan dapat membawa manfaat jangka panjang bagi diri kita.