Sunday, November 22, 2009

Climate Change "Agreement"

This is what will happen after years of debate.



*Nice visualization from The Economist

Monday, September 7, 2009

Other Side of Richard Fuld

Richard Fuld was a Lehman Brothers' CEO in time of bankruptcy. Since then, he has mostly ducked the spotlight, allowing an image of greed, arrogance and failure to cling unchallenged to his name.

This what he say, one year after Lehman's collapse.


Thursday, September 3, 2009

Don't Panic, Huh?

Bank Century, Who's Fault?

For Bank Century's failure, who's the one that needs to be blamed?

Is it Bank of Indonesia? LPS? KSSK? Government?

It's Robert Tantular's fault, of course. He robbed his own bank and took people's money abroad. But, if we talk about the financial system, we need to find who has the authority to avoid that fraud from happening. Someone who has the control. Jusuf Kalla has his argument. He said BI failed to properly supervise Bank Century. To defend that, BI has his own version. BI argued a fraud that has been done by manager and owner is something they can't detect. They has a limitation in their monitoring procedure.

And, I have my own perspective. It's always unfair to blame someone. Punishment, and reward, are asymmetric. They can only be given after the event, not before the event. For example, if Bank Century fail because of lack of supervision, we can blame BI for their ignorance (if it's true). But, consider this, BI is so good so that they can prevent all banks from failure. Will they get the reward? I'm afraid not.

It also happens when we appreciate Densus 88 for their move killing the bastards, but never do the same thing for intelligence part who work at day and night prevent anything bad happening (so that bastards never do their crime).

Prevention is not something that can be appreciated. It happens before, not after.

Sunday, August 9, 2009

Bank Syariah yang Sulit Syariah


Dengan mengambil suasana Islam, teller berjilbab, dan slogan bagi hasil, bank syariah beriklan mengklaim murni syariah. Bulan Ramadhan pun menjadi bulan primadona untuk iklan semacam ini.

Apakah packaging seperti ini membuat suatu bank menjadi bank syariah? Tentu tidak. Lalu, apakah yang dapat membuat bank syariah benar-benar syariah?

Secara garis besar, fitur utama yang membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah prinsip bagi hasil. Bank syariah tidak mengenal bunga. Bunga dipandang sebagai riba sehingga menjadi haram dalam Islam. Yang dimaksud riba dalam bunga bisa berupa tingkat bunga yang berlebihan. Akan tetapi, mayoritas cendekiawan muslim memandang riba sebagai tingkat pengembalian yang tetap.

Islam menghendaki umatnya agar, ketika memperoleh return, mereka juga harus menghadapi resiko. Harus ada keadilan dalam transaksi komersial. Seseorang dilarang memperoleh keuntungan di atas penderitaan orang lain.

Sejarah pelarangan riba ini diawali pada zaman pertengahan Arab. Ketika itu, debitur yang tidak dapat membayar utang tepat waktu akan mengalami pelipatgandaan utang. Hal ini mendorong munculnya perbudakan bagi debitur gagal bayar. Islam sebagai agama yang memiliki visi moral melarang adanya praktek ini.

Namun kini, sudah terdapat undang-undang tentang kebangkrutan yang melindungi hak-hak asasi individu. Bank pun bisa menerima resiko gagal bayar debitur. Apakah pelarangan bunga ini masih relevan pada zaman modern ini? Hal ini pun masih dalam perdebatan.

Friday, August 7, 2009

About Unknown Unknown

A few years ago, I heard a statement in one press conference.

"There are known knowns. There are things we know that we know. There are known unknowns. That is to say, there are things that we now know we don’t know. But there are also unknown unknowns. There are things we do not know we don’t know."

Somehow, It's got an award for "a baffling comment by a public figure"

Saturday, July 4, 2009

"Under Maintenance" is Over

For a very long time, this blog is "under maintenance".
'Cause of a thesis and my attention to FB when I open the Internet.

Now, Jul 4th, 2009,
This blog is ready to be launched again. :D

Ketika Berita Tidak Membutuhkan Kebenaran


Ada yang menarik pada seputar berita internasional seminggu terakhir ini. Iran, negara yang selama ini menjadi seteru Amerika akibat kebijakan nuklirnya, mengalami guncangan politik setelah muncul indikasi kecurangan pada perhitungan suara pemilu presiden. Tuduhan ini dilontarkan oleh musuh politik Ahmadinejad, Mir-Hussein Moussavi. Berita internasional memberitakan betapa buruknya kondisi Teheran dengan menampilkan adegan-adegan kerusuhan di jalan memprotes kecurangan pemilu.

Tapi, sungguh menarik, semua pemberitaan didasarkan pada citizen journalism. Media barat, semisal CNN, menampilkan video-video kekerasan antara para pemrotes dengan polisi dari video amatir. Diakui CNN, video-video ini tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Tetap saja, video seperti itu selalu ditayangkan berulang-ulang.

Ketidakberdayaan media internasional untuk meliput pemilu di Iran ini disebabkan kebijakan Iran yang melarang media-media barat karena dianggap tidak objektif dalam menyampaikan berita. Selain itu, pemerintah Iran menghalangi fasilitas akses internet rakyatnya. Situs-situs kantor berita media barat dan jejaring sosial, semacam Facebook, ikut di-banned. Oleh karena itu, akses berita terhadap kondisi Iran akhirnya hanya bisa didapatkan secara underground, seperti melalui blog dan Twitter.

Efek samping dari informasi-informasi underground ini adalah tidak adanya verifikasi kebenaran berita. Setiap orang dapat meng-upload video kekerasan dan mengatakan bahwa video ini diambil dari jalan-jalan Teheran.

Munculnya berita-berita seperti ini dalam media internasional menghadirkan pertanyaan baru.

Apakah suatu informasi dapat disebarluaskan oleh pers tanpa perlu diketahui kebenaran informasi tersebut?

Apakah pers tidak perlu bertanggung jawab atas informasi yang disajikannya karena, sebelumnya, telah menyampaikan kepada para penontonnya bahwa informasi itu tidak dapat dipastikan keotentikannya?

Bagi saya, pers memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat. Penyajian berita tanpa ada verifikasi kebenaran tidak berbeda dengan propaganda dangkal untuk menyudutkan pihak tertentu. Oleh karena itu, tidak heran, muncul tuduhan yang seperti yang disampaikan Ahmadinejad, bahwa Amerika Serikat dan Inggris berperan di balik ketidakstabilan politik negaranya.



Story of Market Fools


"I never attempt to make money on the stock market. I buy on the assumption that they could close the market the next day and not reopen it for five years.", Warren Buffet

Nama saya adalah Paijo. Saya seringkali berkumpul dengan teman-teman saya di sebuah ruangan yang penuh dengan komputer. Di sana, kami berkumpul mendiskusikan kondisi pasar hari ini. Silih berganti, kami keluar masuk ruangan. Setiap ada orang baru masuk, selalu saja ada topik baru untuk dibicarakan. Berikut merupakan dialog-dialog yang saya sering dengar di ruangan tersebut.

Dialog 1 (Acong dan Joko)
"Woy gila, saham BUMI turun banget. Dihajar habis-habisan" ujar si Acong sambil menunjuk label harga di komputer.
"Anjrit, gw lagi gak ada duit. Pake jatah utang aja kali ya?" Joko menimpali.
"Lu mau main margin lagi? Yakin lu?"
"Santai aja kali. Asal lu yakin aja. Lu liat napa, BUMI dihajar abis-abisan tuh. Palingan besok naik lagi, turunnya udah berlebihan"
Kemudian Joko berteriak, "Woi Don, beli BUMI di 1400!!"
"Sip Bos!", Doni Sang Broker menyahut.

Dialog 2 (Sitorus dan Made)
"Oi De, INCO udah 2500 tuh. Gak lu jual saham lu?", tanya Sitorus.
"Ah gak lah, gw masih rugi cuy. Orang gw belinya di harga 8000 gitu", jawab Made.
"Kayaknya sih ini udah kelewat naik De, rawan koreksi. Mendingan lu jual dulu"
"Pokoknya gw gak akan jual rugi. Mendingan gw tunggu sampai harganya naik lagi"
"Mau nunggu sampai kapan lu?"
"...."

Dialog 3 (Bagong dan Petruk)
"Indeks turun lagi. BNBR jadi 100" ucap Bagong kalem.
"Biarin aja. Pasar lagi panik. Ntar pasti naik lagi" sanggah Petruk.
"Ini turun terus lho"
"Kalau urusan utang-utangan itu selesai, harga pasti naik. Lagipula, gw kan investor jangka panjang"
"Lah, bukannya kemaren lu megang BUMI cuma 2 hari?"
"Untung 10% ya langsung gw jual. Daripada nanti turun lagi"

Sambil mendengar percakapan itu, saya berdiam diri menonton berita bisnis di televisi. Ada percakapan di antara para jurnalis itu. Antara Mas Leonard dan Mbak Maria.
"Maria, bagaimana kondisi pasar hari ini?"
"Hari ini tampaknya merupakan hari yang baik untuk para investor. Tercatat indeks mengalami kenaikan sebesar 2 point", ujar sang wanita yang berada di trading floor.
"Berita apa yang menyebabkan penurunan ini?"
"Diperkirakan pasar menyambut baik kemenangan dari partai incumbent. Para investor berharap agar stabilitas tetap terjaga agar bisnis dapat berjalan dengan baik"
"Terima kasih Maria, kami tunggu terus perkembangan pasar hari ini dari anda"

Saya ganti salurannya ke CNBC, lalu ada tagline seperti ini,
"Dollar down 0.14 yen on higher Japanese surplus."
"Dow is up 1.02 on lower interest rate."

***

Kami selalu merasa bahwa, secara jangka panjang, harga saham pasti akan naik. Walaupun harga saham turun drastis, kami akan menahan saham hingga harganya kembali naik. Yang penting, sabar. Bahkan ada pepatah, bad traders divorce their spouse sooner than abandon their positions.

Selain itu, kami juga selalu berubah cerita menjadi investor jangka panjang ketika kami kehilangan uang. Bolak-balik berubah profesi antara trader dan investor tergantung dari situasi pasar. Sebenarnya, tidak ada salahnya untuk berinvestasi pada "jangka panjang" asalkan tidak mencampurnya dengan trading jangka pendek. Hanya saja, kami menunda keputusan untuk menjual karena takut cut loss.

Kami, para trader, tidak suka untuk menjual ketika saham berada dalam "value yang lebih baik". Harga saham yang turun membuat saham itu punya value yang lebih baik lagi. Kami tidak pernah mempertimbangkan bahwa metode kami dalam menilai suatu saham bisa saja salah. Selalu merasa bahwa pasar gagal untuk mengakomodasi ukuran kami menilai saham. Itulah mengapa, ketika harga saham turun, kami selalu senang untuk mengkoleksi lebih banyak saham karena saham berada pada "value yang lebih baik lagi".

"Stop losses are for schmucks! We are not going to buy high and sell low!!"

Menolak kenyataan pasar adalah hobi kami. Ketika merugi, kami tidak akan pernah mudah menerima yang terjadi. Harga yang terlihat turun drastis pada monitor telah kehilangan esensinya. Kami menggunakan banyak alasan untuk menjelaskan penurunan tersebut. Alasan, yang intinya, berkisar pada menyalahkan efisiensi pasar, seperti pasar panik, pasar irrasional, dan profit taking, dibandingkan mengevaluasi diri bahwa mungkin saja kami yang membuat keputusan salah.

Setiap hari, para jurnalis bisnis selalu menemani kami dengan analisa-analisa dangkal. Kemampuan jurnalis ini kami ukur dari seberapa pintar mereka bicara dibandingkan seberapa mampu mereka beradaptasi pada kenyataan yang ada. Mereka selalu menjelaskan pergerakan kecil saham yang sebenarnya merupakan perfect noise. Seperti adegan di atas, kenaikan 2 point adalah tidak lebih dari pergerakan sebesar 0,1%. Sebuah pergerakan yang sepatutnya tidak memerlukan penjelasan.

Kausalitas adalah sesuatu yang kompleks. Kami sering lupa bahwa kami tidak bisa berkata IHSG naik hanya karena sebelumnya ada pengumuman pemenang pemilu. Banyak hal yang bisa menyebabkan IHSG naik. Misalnya, pasar saham dapat saja bereaksi pada perubahan tingkat BI rate, kurs rupiah terhadap dollar, kurs rupiah terhadap euro, pergerakan indeks Dow Jones, inflasi Indonesia, dan berpuluh-puluh faktor lainnya.

Para jurnalis harus melihat data historis variabel tersebut dan kemudian menguji hubungannya satu-persatu. Apabila, pada tingkat kepercayaan 90% atau berapapun, pengujian ini gagal, cerita jurnalis itu menjadi sampah. Tidak heran, para jurnalis lebih senang membuat cerita versi mereka sendiri. Toh, kami pun tetap menonton mereka.

***

So, how cool are we?
We are smarter than Mama Lauren, I suppose.
Predicting is not a problem for us.
It's easy, stocks will always be higher

Relativitas Keputusan Ekonomi & Percintaan


Misalkan, anda dihadapkan oleh 2 kondisi berikut ini. Pertama, anda memiliki gaji Rp 7 juta, sedangkan teman-teman di sekeliling anda memiliki gaji Rp 8 juta. Kedua, anda mendapatkan gaji sebesar Rp 6 juta, tetapi teman-teman di sekeliling anda hanya mendapatkan Rp 5 juta. Kondisi manakah yang membuat anda lebih bahagia?

Penelitian mengenai pertanyaan di atas membuahkan hadiah nobel untuk psikolog Daniel Kahneman dan Amor Tversky. Sebelum anda pribadi menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat sejenak contoh lain relativitas dalam kehidupan kita yang lain. Dan Ariely, seorang behavioral economist, memberikan contoh menarik dalam bukunya, Predictably Irrational.



Gambar di atas adalah promosi berlangganan dari majalah Economist. Terdapat 3 pilihan berlangganan. Mata kita tertuju pada setiap pilihan. Pilihan pertama terlihat biasa. Akan tetapi, mengapa 2 pilihan selanjutnya memiliki tarif yang sama? Apakah Economist cukup bodoh sehingga memberikan harga yang sama pada 2 paket yang berbeda?

Dihadapkan pada situasi demikian, paket apa yang akan anda pilih?

Kemungkinan besar, anda akan memilih paket yang ketiga, print & web subscription. Setidaknya itulah yang terjadi pada kebanyakan orang ketika dilakukan eksperimen di MIT Sloan Business School.



Ketika dihadapkan 3 pilihan, 84 orang memilih print & web subscription, 16 orang memilih web subsciption. Dan seperti dugaan anda, tidak ada yang memilih print subscription. Untuk apa memilih paket ini ketika paket print & web subscription memiliki tarif yang sama? Mungkin itulah pikiran yang muncul di benak anda.

Untuk eksperimen kedua, pilihan kedua (print subscription) dihilangkan. Secara rasional, seharusnya tidak ada yang berubah. Sungguh menarik, ternyata orang yang memilih web subscription malah meningkat drastis menjadi 68 orang dan orang yang memilih print & web subscription menurun menjadi 32 orang.

Apa yang terjadi? Isi dan harga paket tidak ada yang diubah, tapi mengapa kecenderungan preferensi orang berubah banyak ketika satu pilihan disingkirkan?

Ketika dihadapkan 2 pilihan, kita berpikir lebih lama. Kita tidak tahu apakah, dengan tarif $59, web subscription merupakan penawaran yang lebih baik daripada print & web subscription yang bertarif $125. Namun, dengan memasukkan 1 pilihan pengalih (print subscription dengan harga $125), kita didorong secara naluriah untuk memilih print & web subscription karena kita mempunyai pembanding baru yang tidak jauh berbeda (memiliki tarif sama $125).

Sebagai manusia, kita memang terlahir untuk melihat segala sesuatunya secara relatif. Kita tidak hanya membandingkan antara yang satu hal dengan yang lainnya, tapi kita juga membandingkan sesuatu yang dapat dibandingkan secara mudah, dan menghindari membandingkan sesuatu yang tidak dapat dibandingkan secara mudah.

Fenomena seperti ini bisa diaplikasikan pada bagian kehidupan kita yang lain. Misalnya anda single, ingin terlihat ganteng dan berharap diperhatikan oleh wanita dambaan anda. Saran saya, beradalah pada lingkungan yang membuat anda terlihat ganteng. Dengan kata lain, memiliki teman yang slightly less atrractive dibandingkan anda akan membuat anda terlihat lebih outstanding. Tapi jangan berhenti sampai di sini, perjalanan masih panjang.

Pandangan relatif seperti ini kadang mempunyai beberapa efek samping. Jika kita hidup di lingkungan elit, kita terus merasa miskin. Jika kita belajar di antara orang yang pintar, kita terus merasa bodoh. Rumput tetangga selalu terlihat hijau dibandingkan rumput sendiri. Kita selalu merasa tidak puas jika dibandingkan dengan orang lain.

Berkaitan dengan topik ini, ada satu pertanyaan terakhir untuk anda. Menurut anda, lingkaran hitam mana lebih besar? Kiri atau kanan?


Tuesday, February 17, 2009

Seberapa aman profile anda di Facebook?


Facebook adalah sebuah fenomena. Situs internet, yang namanya berasal dari istilah sebuah kertas yang diberikan kepada mahasiswa atau staf kampus baru untuk berkenalan pada komunitas kampus di Amerika Serikat, telah menjadi situs jaringan sosial dengan member terbanyak di dunia. Diawali dengan niat hanya untuk komunitas internal Harvard University, Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, kini menjadi salah satu orang terkaya di dunia pada usia 24 tahun.


Dengan Facebook, kita mampu mencari orang-orang yang sudah lama tidak kita jumpai dan menjaga tali silaturahmi dengan komunitas. Jarak bukan lagi masalah. Akan tetapi, yang namanya teknologi pasti mempunyai efek samping tersendiri, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Yang saya soroti pada perkembangan facebook ini adalah privacy. Apakah facebook telah menyediakan pelayanan privacy yang mumpuni?


Pada Desember 2005, 2 orang mahasiswa MIT berhasil men-download, dengan menggunakan automated script, lebih dari 70.000 profile Facebook dari 4 universitas yang mereka incar, yaitu, MIT, NYU, University of Oklahoma, dan Harvard sebagai bagian dari proyek penelitian pada privacy Facebook. Kenyataan ini membuktikan adanya kesempatan terbuka untuk melakukan data mining pada Facebook. Salah satu contoh implikasinya adalah, jika anda menaruh alamat email di profile Facebook anda yang terkena data mining, kemungkinan email anda dibanjiri oleh spam iklan menjadi lebih besar. Apalagi, jika anda menaruh alamat, nomor telepon, atau informasi-informasi personal lainnya, keleluasaan pribadi anda akan semakin kecil.

Perhatian masyarakat di Amerika Serikat juga tercurah pada kesulitan untuk menghapus user account. Facebook hanya membolehkan user-nya untuk melakukan “deactivate” pada account mereka sehingga menjadi tidak terlihat. Walaupun demikian, informasi-informasi pada account ini ternyata tetap berada pada server Facebook. Hal ini membuat kesal banyak pengguna yang ingin menghapus account mereka secara permanen, menggunakan alasan kesulitan untuk menghapus “embarrassing or overly-personal online profiles from their student days as they entered the job market, for fear employers would locate the profiles”. Alasan yang logis memang, karena sekarang, perusahaan-perusahaan sering menggunakan situs jejaring sosial macam facebook dan friendster sebagai salah satu cara untuk melakukan background check pada calon karyawan.

Akan tetapi, masalah privacy tidaklah selalu muncul akibat kesalahan sistem, tapi bisa juga dari kecerobohan penggunanya. Baru-baru ini, Daisy Tourne, seorang menteri dalam negeri Uruguay harus menanggung malu akibat kritik dari pihak oposisi negaranya. Apa pasal? Wanita ini ternyata memasang fotonya ketika sedang mandi di bawah shower di profile Facebook-nya. Sebenarnya foto itu hanya memperlihatkan kedua tangan Daisy dan wajahnya yang tertawa di bawah aliran air, tapi kontroversi tetap saja muncul. "Para menteri harus lebih cermat dan sopan, apalagi Menteri Dalam Negeri yang memerintah pasukan polisi," ujar salah satu pemimpin oposisi.

Di Italia, muncul grup-grup pemuja mafia di Facebook. “Fans club” ini memuja simbol-simbol Cosa Nostra, seperti Bernardo Provenzano, bos mafia yang ditahan tahun 2006 setelah 40 tahun menjadi buronan, dan Toto Riina, seorang mafia yang diyakini telah membunuh lebih dari 40 orang dengan tangannya sendiri dan memerintah pembunuhan ratusan orang lainnya. Menanggapi hal ini, polisi Italia memutuskan akan menginvestigasi orang-orang yang terlibat pada komunitas ini karena kecurigaan membantu organisasi kriminal.

Cerita di atas adalah satu cerita dari banyaknya cerita mengenai kecerobohan pengguna internet. Dalam lingkungan internet yang tidak terbatas, setiap orang di planet ini akan mampu mencari keberadaan kita melalui situs jaringan sosial semacam Facebook. Oleh karena itu, menjadi sebuah hal yang penting bahwa kita harus mendesain privacy profile kita dengan baik. Menjaga perhatian khalayak umum dari hal-hal yang terlalu personal.

(Ibaratnya, jangan sampai seperti Sarah dan Rahma Azhari. Kalau memang tidak mau khalayak umum melihat foto-foto macam itu, ya simpan baik-baik. Atau gak usah foto kayak gitu sekalian.. loh malah ngegosip gw..)

So guys, hati-hati main di facebook. Bikin profile yang bener. Gak usah pasang foto aneh2..haha