Sunday, August 9, 2009

Bank Syariah yang Sulit Syariah


Dengan mengambil suasana Islam, teller berjilbab, dan slogan bagi hasil, bank syariah beriklan mengklaim murni syariah. Bulan Ramadhan pun menjadi bulan primadona untuk iklan semacam ini.

Apakah packaging seperti ini membuat suatu bank menjadi bank syariah? Tentu tidak. Lalu, apakah yang dapat membuat bank syariah benar-benar syariah?

Secara garis besar, fitur utama yang membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah prinsip bagi hasil. Bank syariah tidak mengenal bunga. Bunga dipandang sebagai riba sehingga menjadi haram dalam Islam. Yang dimaksud riba dalam bunga bisa berupa tingkat bunga yang berlebihan. Akan tetapi, mayoritas cendekiawan muslim memandang riba sebagai tingkat pengembalian yang tetap.

Islam menghendaki umatnya agar, ketika memperoleh return, mereka juga harus menghadapi resiko. Harus ada keadilan dalam transaksi komersial. Seseorang dilarang memperoleh keuntungan di atas penderitaan orang lain.

Sejarah pelarangan riba ini diawali pada zaman pertengahan Arab. Ketika itu, debitur yang tidak dapat membayar utang tepat waktu akan mengalami pelipatgandaan utang. Hal ini mendorong munculnya perbudakan bagi debitur gagal bayar. Islam sebagai agama yang memiliki visi moral melarang adanya praktek ini.

Namun kini, sudah terdapat undang-undang tentang kebangkrutan yang melindungi hak-hak asasi individu. Bank pun bisa menerima resiko gagal bayar debitur. Apakah pelarangan bunga ini masih relevan pada zaman modern ini? Hal ini pun masih dalam perdebatan.

Sisi Penghimpunan Dana

Nasabah penabung bank syariah menerima return berupa bagi hasil yang jumlahnya tidak tetap, tergantung profitabilitas bank. Misalnya, ketika kita berinvestasi deposito di bank syariah, kita tidak akan dijanjikan berapa besar keuntungan yang akan anda terima. Jika bank mengalami keuntungan, maka return kita juga positif. Jika bank mengalami kerugian, kita (seharusnya) juga mengalami kerugian.

Hal ini berbeda dengan bank konvensional dimana deposan tahu berapa besar pengembalian yang akan diterima melalui penetapan bunga in advance, terlepas bank sedang berada dalam kondisi bisnis yang naik atau turun.

Ada satu kasus yang menarik. Pada 30 Juni 2005, salah satu bank syariah di Malaysia, Bank Berhad Malaysia, melaporkan kerugian akibat kredit macet sebesar US$127 juta, namun terus memberikan imbal hasil “kompetitif” deposito kepada para nasabahnya. Hal ini tentunya berlawanan dengan prinsip bagi hasil.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memiliki sistem perbankan yang tidak jauh berbeda dengan Malaysia, yaitu dual-banking system dimana bank konvensional dan bank syariah berdiri secara berdampingan. Sistem ini membuat bank syariah bersaing dengan bank konvensional dalam pencarian dana nasabah. Perebutan dana ini biasanya ditanggapi bank syariah dengan memberikan return yang kompetitif dengan return yang diberikan bank konvensional. Apalagi, menurut laporan BI, mayoritas dana nasabah di bank syariah sensitif dengan tingkat return. Apabila return bagi hasil bank syariah lebih kecil dari bank konvensional, dana ini akan lari ke bank konvensional.

Hal ini berakibat bank syariah menjadi terdorong untuk memberikan return yang kompetitif, terlepas dari kondisi bisnis yang baik atau tidak. Syariahkah ini? Mari kita lihat juga dari sisi penyaluran dana.

Sisi Penyaluran Dana

Walaupun prinsip bagi hasil merupakan landasan utama perbankan syariah, bentuk pembiayaan selain bagi hasil masih diperbolehkan sehingga terdapat 2 jenis pembiayaan bank syariah, yaitu pembiayaan bagi hasil dan pembiayaan markup. Kontrak yang sesuai dengan pembiayaan bagi hasil adalah Mudharabah dan Musyarakah. Sementara itu, kontrak yang merupakan perwujudan pembiayaan markup, antara lain Murabahah, Ijarah, Salam, Istishna. Pembiayaan markup biasa digunakan pada kegiatan perdagangan untuk pembiayaan modal kerja.

Ada fakta menarik bahwa pembiayaan markup lebih mendominasi dibandingkan pembiayaan bagi hasil hampir di setiap negara Islam. Demikian pula di Indonesia, menurut Statistik Perbankan Syariah Desember 2008, pembiayaan bagi hasil hanya sebesar 35%, dan sisanya adalah pembiayaan markup.

Walaupun prinsip markup lebih sering digunakan, penggunaannya dalam hukum Islam masih dalam perdebatan karena pembiayaan jenis ini mempunyai implikasi tingkat pengembalian investasi yang tetap bagi bank. Padahal, inti dari keberadaan bank syariah itu sendiri adalah memberikan alternatif baru prinsip bagi hasil.

Fenomena ini diduga disebabkan oleh beberapa hal. Namun, beberapa penelitian menyebutkan faktor yang paling dominan adalah informasi asimetris antara bank dan pelaku usaha. Ketika tidak ada rasa saling percaya antara bank dan pelaku usaha, maka pembiayaan bagi hasil sangat sulit untuk dilaksanakan. Pelaporan keuntungan usaha menjadi sesuatu yang mudah disengketakan. Apalagi, pengakuan atas cost dan revenue bisa berbeda antara bank dan pelaku usaha.

Bank Syariah vs Masyarakat “Konvensional”

Fenomena-fenomena di atas menghadirkan tantangan besar bagi dunia perbankan syariah. Sebagai alternatif dari sistem konvensional, bank syariah harus mampu hadir sebagai pelaksana subsistem ekonomi syariah yang konsekuen dan bertanggung jawab. Membedakan diri bukan hanya dari packaging, tetapi juga dari praktek operasional sehari-hari bank.
Pertanyaan selanjutnya, apa yang salah? Mengapa perbankan syariah tidak dapat berjalan seperti yang ada di teori? Jawabnya tidak akan pernah mudah.

Setiap sistem pasti mempunyai asumsi-asumsi tersendiri untuk dapat berlangsung dengan baik, demikian pula sistem ekonomi syariah. Sistem ekonomi syariah menghendaki agar masyarakat dapat menjadi umat yang lebih mengedepankan ridho Allah SWT, dibandingkan keuntungan sementara di dunia. Return bukanlah sesuatu yang prioritas dalam berinvestasi. Selain itu, masyarakat juga harus mampu bersifat adil dalam bertransaksi. Tidak ada keinginan untuk merugikan orang lain.

Selama masyarakat pengguna bank syariah masih berpikir “konvensional”, pelaksanaan sistem perbankan yang murni syariah masih hanya berupa angan-angan. Oleh karena itu, untuk mengubah angan-angan itu menjadi kenyataan, seluruh umat muslim harus turut serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perbankan syariah. Pembangunan perbankan syariah bukan hanya tanggung jawab bank syariah semata.