1. Kenaikan indeks saham menggambarkan kemajuan ekonomi
Dalam beberapa situasi pasar yang efisien, hal ini mungkin terjadi. Pada situasi ini, investor secara rasional membeli saham karena prospek pendapatan ke depannya yang cukup baik. Tapi sayangnya, dunia ini tidak seideal itu.
Pada satu ceramahnya, Alan Greenspan menyebut perilaku abnormal investor dengan istilah “irrational exurberance” (atau bahasa indonesianya, kegairahan irrasional). Perilaku ini menyebabkan orang-orang berinvestasi bukan karena prospek fundamental perusahaan, tapi karena adanya optimisme atau pesimisme yang irrasional. Teori arbitrase pun tidak dapat memanfaatkan situasi ini karena kegairahan irrasional melanda ke seluruh pelaku pasar.
Contoh kasusnya, mudah dilihat, kenaikan berlebihan harga subprime mortgage yang berujung pada meletusnya bubbling harga dan menyebabkan investor merugi. Investor-investor institusional secara membabi buta memborong produk investasi perumahan hingga harga pasar melebihi harga wajarnya.
Rasionalitas adalah kuncinya. Di dunia ini, banyak orang memborong saham karena rasa optimisme yang berlebihan atau sekedar ikut-ikutan beli saham. Investor-investor macam inilah yang membuat pasar saham makin tidak dapat menggambarkan keadaan ekonomi yang sebenarnya.
Oleh karena itu, muncul satu lelucon dari advokat teori kontrarian yang menyebutkan bahwa, ketika ibu-ibu sudah ikut-ikutan beli saham, berarti itu waktu untuk jual saham. Kenapa? Karena masuknya orang-orang yang tidak mengerti pasar saham menunjukkan pasar yang menuju ke arah irrasional.
2. Investasilah dalam jangka panjang, jangan jangka pendek
Inilah kalimat-kalimat yang paling sering diucapkan para financial advisor. Mereka selalu bilang, kalau secara jangka panjang, harga saham selalu mengalami trend peningkatan sehingga dapat mengabaikan fluktuasi harga jangka pendek. Pertanyaan selanjutnya adalah, jangka panjang itu seberapa lama? 1 tahun? 5 tahun? atau mungkin 20 tahun?
Berikut ini adalah grafik indeks pada salah satu pasar saham besar di dunia, Jepang.
Coba bayangkan saja, seandainya kalian beli saham pada indeks Nikkei di tahun 1985, 20 tahun kemudian, investasi kalian malah turun. Nangis gak tuh!, sudah capek2 investasi lama tapi hasilnya malah merugi. Atau mungkin 20 tahun bukanlah termasuk waktu jangka panjang?,haha
Para financial advisor selalu menggunakan data historis untuk mendukung argumen mereka. Hal inilah yang tidak sepenuhnya benar, karena kinerja masa lalu tidak akan pernah dapat menggambarkan kinerja masa depan secara pasti. Tidak selamanya pasar memiliki kinerja kenaikan harga saham yang baik dalam jangka panjang.
We'll never know what's gonna happen next!!
3. Rekomendasi saham
Rekomendasi saham sering muncul di koran untuk orang-orang yang berminat untuk melakukan kepurusan transaksi. Buku-buku trading juga banyak terbit untuk memberi tahu bagaimana caranya mendapatkan keuntungan dari investasi saham secara maksimal. Tapi sadarkah kita, jika rekomendasi itu selalu benar, tentunya pihak yang membuat rekomendasi itu sudah akan sangat kaya dan tidak akan membagi ilmunya kepada orang lain.
Jika memang benar muncul suatu metode baru untuk mengalahkan pasar, sekalinya terpublikasikan, metode ini pastinya akan langsung diadaptasi oleh para pelaku pasar hingga penggunaan metode ini tidak akan menghasilkan nilai tambah lagi. Oleh karena itu, manusia normal yang menemukan metode baru pastinya tidak akan membagikannya kepada pelaku pasar lain jika ingin meraih abnormal profit.
Oleh karena itu, agak aneh ketika kita hanya mengandalkan rekomendasi untuk melakukan keputusan transaksi. Sepintar apapun kita, apakah kita seorang profesor ataupun seorang lulusan harvard sekalipun, kita tidak akan pernah tahu apakah besok indeks akan naik atau turun.
Jadi intinya, kalau mau untung investasi saham, percaya aja sama bandar!!,haha
(Bandar = market maker, orang-orang yang punya uang sedemikian banyaknya sehingga mampu mempermainkan dan memanipulasi pasar)